02 Maret 2008

Perjalanan Menuju Keabadian




Belum lama ini seorang teman saya berkunjung ke Yogyakarta untuk menemui salah seorang penulis cerpen terkemuka. Dia heran ternyata sejumlah orang di sekitar tempat tinggal si penulis yang ditemuinya itu tak mengerti bahwa salah seorang warga di tempat tinggalnya adalah seorang penulis.

Bukankah pekerjaan itu pengusaha, PNS, pedagang, bankir, petani. Penulis, pekerjaan macam apakah itu? Barangkali itulah yang ada dibenak sejumlah orang yang ditemuinya saat dirinya hendak mencari tempat tinggal penulis yang cerpennya pernah memenangkan cerpen terbaik Kompas 1994 itu.

Erskine Caldwell, seorang penulis Amerika, ketika mengatakan menulis adalah pekerjaannya pada tetangga dekatnya, sempat juga diremehkan. “Penulis sambil berdagang, tidak dapat menciptakan kehidupan yang lebih layak dengan melakoninya, kan?” ucap tetangganya itu.

Ya, barangkali menulis memang tidak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi yang menjalaninya, tapi tentu ada hal yang lebih berharga dari sekedar memenuhi kebutuhan finansial sehingga ada yang memutuskan untuk menjadi penulis.

Setelah melalui berbagai rintangan dalam perjalanan karir jurnalistiknya, akhirnya Erskine Caldwell mendapat penghargaan dari The Atlanta Convention and Tourist Bureau atas liputannya yang dinilai memuaskan.

Fred Houser, manajer The Atlanta Convention and Tourist Bureau mengelu-elukannya atas hasil pekerjaannya tersebut. Bahkan Hunter Bell, redaktur The Atlanta Journal tempat Caldwell bekerja, menjamin memenuhi berapa pun gaji yang dia inginkan.

Jika Hunter Bell memberikan kenaikan gaji, Caldwell punya cara lain untuk merayakan keberhasilannya itu. Skinny, panggilan akrab Erskine Caldwell, memutuskan untuk berhenti di The Atlanta Journal dan memutuskan menjadi penulis fiksi profesional. Dia membulatkan tekad untuk secara total bekerja di bidang penulisan kreatif.



Hunter Bell yang tak setuju atas keputusannya itu menggambarkan kehidupan yang sulit bagi mereka yang menggantungkan hidup pada pekerjaan yang tak pasti.

Keputusan Caldwell ini mungkin tidak masuk akal bagi sebagian orang. Bagaimana mungkin, seorang yang sudah mendapatkan karir yang relatif mapan, malah meninggalkan pekerjaannya itu demi untuk menjadi penulis, sebuah pekerjaan yang tak bisa diharapkan memberikan pemenuhan finansial, pekerjaan yang memberikan upah secara pasti tiap bulannya seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tampak lebih jelas dan logis bagi kebanyakan orang.


SETELAH mengakhiri karirnya sebagai kontributor untuk pertandingan bisbol yang ada di daerah tempat tinggalnya di The Augusta Chronicle, Caldwell mengirimkan lamaran pada seluruh surat kabar harian di Georgia. Dia menawarkan menjadi wartawan lokal di daerahnya.

The Atlanta Constitution dan The Macon Telegraph menerima lamarannya. Namun tulisan-tulisan yang dikirimkannya selalu dipotong panjang sehingga hanya menyisakan satu atau dua item.

Berharap mendapatkan yang lebih baik, dia beralih ke The Journal, The News, dan The Herald. Namun perubahan ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pada 1925, ketika masih kuliah di Universitas Virginia, dia sudah tak tahan untuk melakukan apa ang ingin dia lakukan dalam hidup; menulis. Maka Caldwell memutuskan pergi dan melamar pekerjaan di The Atlanta Journal.

Di The Atlanta Journal, Caldwell diterima sebagai wartawan amatir dengan masa percobaan. Sebelum berhasil mendapat penghargaan atas liputannya itu, Caldwell acap diremehkan dan hanya mendapat pos-pos liputan sekunder seperti berita kematian.
Caldwell tentu saja telah memikirkan dengan matang untuk menjadi penulis profesional. Sebelum bekerja di The Atlanta Journal, dia mengatakan tidak berminat bekerja di bidang jurnalistik. “Namun kerja jurnalistik adalah menulis. Itulah yang ingin aku pelajari,” katanya.

Jurnalisme, menurut Caldwell, adalah tempat yang baik untuk membantu membiasakan menulis setiap hari. Menunggu inspirasi adalah pernyataan yang jarang ditemukan pada wartawan terlatih.

Keputusan Caldwell tentu saja tidak serta merta memberikan penghasilan melebihi apa yang ditawarkan Hunter Bell. Sebaliknya, Caldwell harus hidup dengan mengatur pengeluaran secara ketat.

Memulai sebuah awalan yang baru, Caldwell memutuskan untuk pergi ke negara Maine dan tinggal disana. Maine adalah sebuah negara tenang dan permai dengan bukit dan pepohonan hijau yang menakjubkan, juga sungai-sungai tenang dipagari padang rumput yang lebat di musim panas.

Sedang di musim dingin, yang menghabiskan waktu selama sembilan bulan, udara sangat tak nyaman dengan suhu dibawah nol derajat.

Keadaan ini membuat Caldwell bekerja keras selama musim panas untuk memenuhi kebutuhan di musim dingin.

Siang hari, dia menanam kentang untuk persediaan makanan. Berlanjut dengan menebang pohon untuk persediaan kayu bakar.

Menulis cerpen adalah pekerjaannya di malam hari. Kerap kali Caldwell menghabiskan 10 sampai 12 jam untuk menulis. Bahkan tak jarang sepanjang malam dia habiskan untuk menulis cerita di sebuah ruangan tanpa penghangat dengan suhu dibawah nol derajat celcius yang dinginnya tetap terasa meski memakai berlapis-lapis jaket dan mantel.
Kehabisan kentang dan kayu bakar, menguatkan Caldwell untuk memenuhi keinginannya pergi ke tempat lain. Baginya, menulis bukan sebuah pekerjaan yang mengharuskan tinggal menetap.

Maka pergilah dia ke Charlottesville, lalu ke Augusta, lalu ke Edgefield, Carolina selatan, dan dilanjutkan ke Baltimore. Kebiasaannya berpindah-pindah terus dia lakukan hingga akir hidupnya. Dari Virginia, Georgia, Carolinas, Chilhuahua, Durango, Mexico, Boston atau Newyork.

Ditempat-tempat itu dia memutuskan untuk menulis. Dan hari-harinya dihabiskan untuk menulis selama enam belas hingga delapan belas jam sehari.
Di tempat-tempat itu Caldwell harus dengan keras mengatur pengeluarannya. Caldwell mencari penginapan yang murah.

Ketika kembali ke Maine Caldwell mengumpulkan kayu bakar dan menanam kentang sepanjang siang dan sepanjang malam menulis cerita hingga menyisakan beberapa jam untuk tidur pukul tiga pagi sebelum fajar.

“ Waktu serasa berjalan begitu cepat dan masih banyak yang harus dilakukan pada malam-malam itu, sehingga ingin rasanya aku menghentikan jam atau memutar balik jarum jam ketika sedang berada di depan mesin ketik” terangnya.

Setelah kurang lebih tiga tahun sejak pertama kali menulis fiksi ketika masih kuliah di Universitas Virginia, akhirnya Caldwell mulai sering mendapat catatan-catatan pendek disamping surat penolakan dari para editor.

“meski tidak satu pun majalah menerima ceritaku, setidaknya mulai sekarang seorang editor akan menolak karyaku disertai dengan komentar.” Pikirnya saat itu.
Komentar-komentar para editor ini cukup menyenangkan bagi Caldwel. Memberikan sesuatu untuk dinanti di kotak surat, meski isinya membuat heran karena begitu banyak alasan dapat ditemukan untuk menolak sebuah cerita.

Selain mendapat nasihat agar menulis semirip mungkin dengan cerita yang telah dimuat di majalah-majalah, Caldwell pun mendapat nasihat agar menulis subjek lain seperti dekorasi rumah, ubin,lantai untuk mendapat masa depan yang baik.

Bahkan dia menerima nasihat panjang dari seorang editor yang menyarankan berhenti berusaha menulis cerpen karena menurutnya, Caldwell tidak akan pernah bisa berhasil dan sakit hati akibat kegagalan yang terus ditahan akan membuat kegagalan puncak yang sulit untuk dia tanggung.


CADWELL sudah memperhitungkan keputusannya meninggalkan pekerjaan demi menjadi penulis fiksi profesional. Godaan akan selalu menghantui siapa saja yang mengambil keputusan seperti dirinya, yang hendak menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sementara hasil menulis sebagai mata pencaharian tak kunjung terpenuhi.

Seorang yang ingin menjadi penulis haruslah menyiapkan mental yang kuat agar mampu menjalani masa-masa yang paling sulit, masa di mana tiada jaminan finansial yang memadai. Jika tidak, ia akan tergoda untuk mengalihkan perhatiannya kepada pekerjaan yang bagi kebanyakan orang lebih rasional, pekerjaan yang lebih bisa menghasilkan uang. Dan keinginan menjadi penulis fiksi profesional menjadi angan-angan yang lebih layak untuk ditertawakan.

Memang Cadwell pada akhirnya dapat memetik hasil jerih-payahnya. Perlahan-lahan cerpennya mulai dimuat di koran kecil, hingga menembus Scribner’s Magazine, sebuah keinginan yang sudah dinanti-nantinya menaklukan media yang memiliki distribusi luas.

Kumpulan cerpennya yang diberi judul American Earth dibukukan. Tak lama kemudian menyusul novel perdananya Tobaco Road, yang terinspirasi dari sebuah kehidupan di perkampungan miskin di dekat tempat tinggalnya, sebuah jalan yang dibuat dengan menggelindingkan tong yang diisi tembakau yang diawetkan. Untuk pertama kalinya, ia menerima bond royalty dari penerbitan buku.

Hingga novel God’s Littele Acre yang menurutnya paling memuaskan, You Have Seen Their Faces, dan novelnya Tobaco Road yang telah dipentaskan lebih dari tujuh tahun, hasil royalty yang diterimanya tidak bisa dibilang telah cukup membuatnya menjadi seorang yang terbebas dari masalah keuangan.

Kondisi finansialnya baru dikatakan lebih membaik setelah dia menjadi penulis skenario untuk film di MGM, yang menggajinya $3000 per minggu, penghasilan tertinggi yang pernah di terima sepanjang hidupnya.

Berapapun jumlah penghasilan yang didapatkannya dari menulis fiksi, setidaknya dia sudah mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karyanya di surat kabar, kumpulan cerpen dan novel-novelnya sudah dibukukan. Selama penghasilannya dari menulis fiksi belum bisa untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, maka dengan sadar ia pun akan melakukan pekerjaan lain demi mewujudkan ambisinya. Kini kerjanya sudah membuahkan hasil. Namanya disandingkan dengan John Steinbeck , William Faulkner, dan pengarang terbaik Amerika yang lainnya.

Semenjak menetapkan ingin menjadi penulis fiksi professional, Caldwell menjadikan pekerjaan apapun yang dia lakukan diluar menulis adalah pekerjaan sementara, dan itu dilakukan cuma untuk bertahan hidup.

Intensitas keadaan pikiran untuk menulis adalah ukuran kesuksesan atau kegagalan bagi Caldwell. Menurutnya, seorang penulis harus meluangkan banyak waktu untuk pekerjaannya dan menjaganya dengan antusias, sebab jika tidak dia akan mendapati sebagian hari-harinya telah dihabiskan untuk tindakan-tindakan menyenangkan namun sia-sia.

Dalam bukunya sendiri yang berjudul Call It Experience, The Years of Learning How to Write Caldwell memaparkan perjalanannya sehingga berhasil menjadi penulis yang sukses.

Tak beda dengan pekerjaan seperti Dokter, Pengacara atau yang lain, Caldwell meyakini menulis memerlukan masa-masa belajar sebelum mendapat keberhasilan. Caldwell berpendapat para pekerja yang lain pun akan belajar dari pengalaman. “Kenapa para penulis tidak?” katanya.

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prisma Media, Yogyakarta dengan judul Perjalanan Sang Penulis, Mengubah Pengalaman menjadi Energi Kreatif Dalam Menulis.

Memang dibutuhkan keberanian untuk memutuskan mengambil jalan hidup sebagai penulis. Perlu intensitas dan keyakinan kuat sebelum mencapai keberhasilan. Tapi keberhasilan itu niscaya datang bagi orang-orang yang berhasil menetapkan keyakinannya.
Seperti Erskine Caldwell, atau Nawal El Saadawi yang menerima ultimatum dari suaminya atas cerpen yang dibuatnya. “ memilih aku atau tulisanmu?” tanya suami Nawal. “ Baiklah”, ucap Nawal. “ Aku memilih tulisanku”

Anda boleh saja menganggap apa yang dilakukan oleh Cadwell, atau penulis lainnya yang menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sebagai sesuatu yang mengada-ada. Namun bagi anda yang saat ini sudah memutuskan diri menjadi penulis profesional, baik itu fiksi maupun non fiksi, sedikit banyak pasti sudah melewati masa-masa itu. Hanya saja intensitasnya mungkin berbeda.

Anda sekarang barangkali boleh berbesar hati karena sudah banyak penulis yang berhasil meraih sukses secara finansial. Pengarang JK Rowling adalah salah satu buktinya. Buku serial Harry Potter mampu menyihir jutaan pembaca di seluruh dunia. Hanya beberapa minggu sejak dirilis, bukunya sudah ludes. Bayangkan, berapa royalty yang dia terima?

Di dalam negeri, tak usah jauh-jauh, pengarang asal Semarang Habiburahman juga berhasil meraih sukses setelah menulis novel “Ayat-Ayat Cinta” yang menurut beberapa sumber sudah dicetak hingga 300 ribu eksemplar lebih. Kenyataan ini lambat laun akan mampu menggeser persepsi orang yang masih menganggap pekerjaan sebagai penulis tidak bisa memberikan jaminan finansial.

Mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, pengarang novel Tetralogi Bumimanusia yang masyhur itu, menulis adalah kerja untuk keabadiaan. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah... Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup).