21 Desember 2007

riakriak

Aku telah berhenti berkecipak
Meninggalkan hening pada kolam
yang kau buat tak beriak

mungkin akan ada yang membacanya sebagai isyarat kedalaman
mungkin akan ada juga orang yang berkaca padanya
menghayati luka pada wajah sebagai sebuah ketenangan

aku hanjat pelan-pelan
digantikan angin atau lemparan batu para pejalan

31 Oktober 2007

babad hujan

akhirnya kita menemukan sehelai benang tipis
untuk mengikat bau hujan;
wangi kenangan yang hilang saat jatuh
menyentuh ingatan

berabad waktu lalu dituliskan
babad kegelisahan dengan bahasa bebatuan
adakah terasa resah rusuhnya?

tidak
lalu apa yang digerus hembus angin ke lembah-lembah
dikikis tipis gerimis ke muara-muara
diamuk remukkan orangorang ke kota-kota
jika kau kata ada rasa?

hujan pun kini semakin renta
tak cuma lupa membawa kenangan;
ceritacerita orangtua
bahkan untuk jatuh dan mereda

babad hujan

akhirnya kita menemukan sehelai benang tipis
untuk mengikat bau hujan;
wangi kenangan yang hilang saat jatuh
menyentuh ingatan

berabad waktu lalu dituliskan
babad kegelisahan dengan bahasa bebatuan
adakah terasa resah rusuhnya?

tidak
lalu apa yang digerus hembus angin ke lembah-lembah
dikikis tipis gerimis ke muara-muara
diamuk remukkan orangorang ke kota-kota
jika kau kata ada rasa?

hujan pun kini semakin renta
tak cuma lupa membawa kenangan;
ceritacerita orangtua
bahkan untuk jatuh dan mereda

puisi diatas dimuat dalam antologi Aku Ingin Mengirim Hujan

03 Oktober 2007

kisah lebam

mungkin ada kisah yang tak kau tuturkan padaku
cuma kau rekam lalu terbenam di matamu yang lebam
berulang kali kulihat kau lipat merah kenangan
berjarak perjalanan
kilat karat percintaan
kesedihan dan kemarahan
kau bungkus dengan senyuman

senyummu adalah malam yang tenggelam di pembakaran aspal
pekat kopimu yang sulit kuhapal
meski kudzikirkan namamu di setiap jengkal musim
aku selalu terjungkal di licin harimu yang bacin

mungkin memang tak perlu
kau gantungkan koma di hatimu
cukup titik atau tanda seru
dan aku akan tenggelam
bersama serbuk malam
di kopimu yang hitam.

02 Oktober 2007

rencanabencana

aku telah kehilangan rintik gerimis di bintik mukamu yang manis
Setelah sebelumnya ku kubur dapur yang berhenti
mengisahkan jejak jejak para leluhur
maka sudahi saja semuanya malam ini
bakar saja, karena kertas kertas itu tak akan memberikan perjamuan
yang kita mimpikan
sebelum lengkung kuning berdering memanggil para pejalan

lalu kita berhenti
semua tutur gugur
dan mari buat padam masa silam
lupakan cerita cerita yang kita susun jadi gaun
bangunkan mimpi mimpi yang kita tanam jadi ranjang
sebab saat kita bangun – dipagi yang dingin di ranjang masing masing
tak akan diceritakan kisah kita
sebagai jejak jejak leluhur
mereka.

rencanabencana

aku telah kehilangan rintik gerimis di bintik mukamu yang manis
Setelah sebelumnya ku kubur dapur yang berhenti
mengisahkan jejak jejak para leluhur
maka sudahi saja semuanya malam ini
bakar saja, karena kertas kertas itu tak akan memberikan perjamuan
yang kita mimpikan
sebelum lengkung kuning berdering memanggil para pejalan
lalu kita berhenti
semua tutur gugur
dan mari buat padam masa silam
lupakan cerita cerita yang kita susun jadi gaun
bangunkan mimpi mimpi yang kita tanam jadi ranjang
sebab saat kita bangun – dipagi yang dingin di ranjang masing masing
tak akan diceritakan kisah kita
sebagai jejak jejak leluhur
mereka.
021007

rencanabencana

aku telah kehilangan rintik gerimis di bintik mukamu yang manis
Setelah sebelumnya ku kubur dapur yang berhenti
mengisahkan jejak jejak para leluhur
maka sudahi saja semuanya malam ini
bakar saja, karena kertas kertas itu tak akan memberikan perjamuan
yang kita mimpikan
sebelum lengkung kuning berdering memanggil para pejalan
lalu kita berhenti
semua tutur gugur
dan mari buat padam masa silam
lupakan cerita cerita yang kita susun jadi gaun
bangunkan mimpi mimpi yang kita tanam jadi ranjang
sebab saat kita bangun – dipagi yang dingin di ranjang masing masing
tak akan diceritakan kisah kita
sebagai jejak jejak leluhur
mereka.

puisi diatas dimuat dalam antologi Aku Ingin Mengirim Hujan

28 September 2007

dzikir air

jadikan aku air saja
menuruti lekuk wadah yang tengadah
mengikuti relief bumi
lalu menjelajah ke tempat tempat rendah
do’akan sungai sungai tak ditanggul atau dibedah
agar sampai aku pada muara yang lelah

biarkan aku jadi bagian dari laut
maka pada anginlah aku turut
dikirim ke pantai sebagai ombak sepanjang musim
atau merenung di dasar palung palung
sambil berharap untuk segera menguap

maka di udara panas ijinkan aku lepas
dan kirimkan aku pada dataran dataran waswas
agar kupenuhi mataku raba dengarku
lalu kusampaikan pada tanah tempatku singgah
pada desadesa, kotakota, atau orangorang lelah
atau pada seseorang yang merindukan nyaman sebagai garis lirih yang tipis
maka, ijinkan aku jatuh sebagai gerimis.

Dzikir Air termasuk kategori puisi terpuji dalam lomba puisi tabloid Nyata

asmararabak

dan akhirnya ia menjadi air
sebagai kepasrahan pada cintanya yang tak ‘kan berakhir
pada lelaki itu cintanya terus mengalir
lelaki yang meragukan kesetiaannya
“ kau t’lah kehilangan kesucian !”

melompatlah ia pada unggun bara
pada geliat api gelinjang sepi
namun siapa yang sanggup melukainya?
bahkan izrail pun tak sanggup berdiri!

“ tebarkan wewangian, tuhan.” rintihnya
“ tinggalkan ribuan melati di pembakaran ini
biar tak sangsi ia pada cintaku yang suci”

maka mulailah awan awan menyelimuti tubuhnya
lalu pecahlah ia menjadi gerimis
mengusap lembut api api
menghamparkan ribuan melati

sang lelaki masih berdiri disana
menyaksikan melati yang kembang dalam bara
dan ia masih bergumam
“ kau kehilangan kesucian
kau tak lagi suci
tak lagi suci.”

22 Agustus 2007

di lingkar segitiga

Sehelai rumbia tertinggal di desir angin
Berhembus, lewat pintu yang terbuka
Ada gurat tangan yang mengarat di gagangnya
Entah

Lalu udara menyekap hawamu di sini
Meninggalkan jejak cacat atas ingat
Menyublim dingin batu karang
Pada malam yang karam

Tak ada yang hendak mentasbihkan gelap malam
Setelah paham terang siang
Tapi kita tak
Dan terjebak pada lingkar segitiga.

05 Agustus 2007

diluar

diluar kering sayang,
angin mengirimkan bebatuan tajam dalam kasarnya
ada juga kaca yang dibawanya
menyimpan hujan dan mentari yang tenggelam
lembut, tapi sungguh tajam

diluar

diluar kering sayang,
angin mengirimkan bebatuan tajam dalam kasarnya
ada juga kaca yang dibawanya
menyimpan hujan dan mentari yang tenggelam
lembut, tapi sungguh tajam
050807

03 Agustus 2007

membaca sunyi

ada saja yang selalu minta jelas
mengharap tak ragu
menebar malu

mungkin baik pelajari sunyi
meraba rasa
membaca apa balik hati.

taklaluselalu

laut pun bahkan tak selalu biru
angin juga tak selalu kalut

tapi ada yang selalu larut
bahkan menjadi sesuatu yang tak lagi diri.

26 Juli 2007

hidup adalah perjodohan

bulan matahari
langit bumi
perempuan laki

kok ada banci?

siang malam
muda tua
putih hitam

kok muncul abu?

jembatan

apakah tidak cukup jembatan tanpa pegangan?
260707
0350

24 Juli 2007

tapi

tapi aku tak akan menyerah pada bau hujan
kiriman tanah yang tak lagi basah
cuma duduk menanti bangkai sungai mengirimkan
reranting payah ke pemakaman

menanti awan basah menyerahkan rintiknya yang ragu
lalu pasrah pada gagap harap daun akan embun
yang entah kapan pernah singgah

tapi tak akan kubiarkan ingatan menyatakan
keindahan pada kegelapan
jatuh pada telikung waktu yang menakung

dan kupilih redup lilin yang meski

tapi….

23 Juli 2007

lelayu

ada yang mati
sepi
cuma suara
terbata

palestina
palestina

22 Juli 2007

curriculum vitae

menyambut hidup dengan menangis
lalu mati diantar tangis.

;astaga, hidup ternyata untuk menangis!

19 Juli 2007

embun

sempat terlihat gerak ragu embun di daun
sebelum hilang pada terang
kenapa basahnya tak menyentuh siang?

14 Juli 2007

pulang

adalah saat punguti tutup yang luput dari pulut
ujung lengkung waktu yang murung
enatah yang berakhir di rumah
; pada siapa segala menyerah

menjadikannya sempurna atau membiarkannya hina

sejarah

yang ada sekarang hanya tiada
sejarah adalah keranjang sampah
tempat kita simpan lelah

pulang

adalah saat punguti tutup yang luput dari pulut
ujung lengkung waktu yang murung
enatah yang berakhir di rumah
; pada siapa segala menyerah

menjadikannya sempurna atau membiarkannya hina

12 Juli 2007

tepi

disinilah kita menepi
di sebuah batu di bawah pohon tak bernama
melempar pancing dengan cacingcacing

daun

daun yang jatuh perlahan
menyimpan kebekuan
mengabaikan deru desing matahari

ditulangnya kulihat kau menarik-narik wajahku

tepi

disinilah kita menepi
di sebuah batu di bawah pohon tak bernama
melempar pancing dengan cacingcacing
120707

daun

daun yang jatuh perlahan
menyimpan kebekuan
mengabaikan deru desing matahari

ditulangnya kulihat kau menarik-narik wajahku

01 Juli 2007

cerita berita

ada ceruk yang tibatiba
pada pagi yang meneteskan air dalam goa
menggema

raba cuma menepi ke udara
maka rencanarencana kurang darah
jogja jakarta dirawat inap
dan waktu berubah menjadi rumah sakit malam hari.

cerita berita

ada ceruk yang tibatiba
pada pagi yang meneteskan air dalam goa
menggema

raba cuma menepi ke udara
maka rencanarencana kurang darah
jogja jakarta dirawat inap
dan waktu berubah menjadi rumah sakit malam hari.

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007 dengan judul cerita pagi berita

26 Juni 2007

kotakita

kota tak memberikan kehilangan yang mempertemukan
cuma kesesakan gelembung-gelembung yang menghabiskan
walaupun selalu saja seperti ada yang terlupakan

orang-orang terombangambing di lautan
tanpa nakhoda
tanpa penyesalan

aku tak bisa berjalan, kemanapun
-tak boleh tak-
mencoba menemukan
dan tidak melupakan

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007

kotakita

kota tak memberikan kehilangan yang mempertemukan
cuma kesesakan gelembung-gelembung yang menghabiskan
walaupun selalu saja seperti ada yang terlupakan

orang-orang terombangambing di lautan
tanpa nakhoda
tanpa penyesalan

aku tak bisa berjalan, kemanapun
-tak boleh tak-
mencoba menemukan
dan tidak melupakan

24 Juni 2007

Di sebuah malam

kita masih berjalan diantara gelombang pasang
menikmati keindahan yang menjadi lusuh
mengamati lintasan kesibukan yang senyap

lalu kesunyian mengantar kita ke pemakaman
melewati jalan dengan dua latar;
kiri siang kanan malam
sambil bergandengan tangan

aroma kamboja lalu menyadarkan segala ingatan
kaupun tersenyum dengan hembusan kemenyan
“siapa yang akan duluan di kuburkan?”

lupa

telah kusimpan segala ingatan di dengkur malam
lalu kupunguti remah-remah awan yang semakin pudar
dan hujan yang pingsan menggelosor ke laut
ke maut

kuputuskan tak kembali
menjadi ikan-ikan dan batu karang
malam sesekali melempar cahaya
namun aku lupa menyebut nama

sunyi

dan ketika kau insyafi riuhnya kesunyian
pada malam yang perlahan berlabuh ditepi keluh
adalah hamparan kehangatan yang lirih merintih

angin runtuh membawa sedikit ingatan
tentang mata yang membawakanmu sungai-sungai
tentang sabuk yang berjalan ke kuburan

mungkin diujung waktu yang murung
kau akhiri percakapan denting asing gelasgelas di perjamuan
dan sungai dan bebatuan, bayangan yang payah dan rumah muntah
menunggu dikuburkan.

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007 dengan judul Seharusnya

Di sebuah malam

kita masih berjalan diantara gelombang pasang
menikmati keindahan yang menjadi lusuh
mengamati lintasan kesibukan yang senyap

lalu kesunyian mengantar kita ke pemakaman
melewati jalan dengan dua latar;
kiri siang kanan malam
sambil bergandengan tangan

aroma kamboja lalu menyadarkan segala ingatan
kaupun tersenyum dengan hembusan kemenyan
“siapa yang akan duluan di kuburkan?”

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007 dengan judul Siapa Hendak

22 Juni 2007

katakata katanya

kata-kata adalah bola kristal sang peramal
yang menggelinding jatuh ke pangkuanmu
menguarkan kabar dari bilik paling senyap
menyampaikan rasia yang tak curiga

19 Juni 2007

kabut (ketika bayanganmu menghilang di ujung jalan kamarku)

Aku bersandar pada kabut yang diam-diam takut menyahut
Menyembunyikan genggaman pada bunga-bunga yang tumbuh di ranjang
Sambil khusyuk mendengar dengkur yang mengaduh.

Ada kau yang mengetuk-ketuk jendela kamar, mengajakku bermain hujan.
Tapi di luar tak hujan, hanya kabut yang kian tebal dan aku dalam sempurna menyimpan batuk pada kabut yang masih saja takut untuk menyahut.

Aku pun kesulitan menjaga yang tumbuh di ranjang tetap mekar
Sedang perdu dan ilalang sudah menjalar keluar kamar.
Batangnya ada juga yang melilitku.
Memeras keringat yang mungkin masih tersisa.
Membasahi ranjang dan pintu kamar.

O, sembunyikan aku yang makin larut dalam kabut!

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

05 Juni 2007

pantai asin r; tentang sesal yang tak menyesal

ombak-ombak melemparkan karang pada mimpi kita semalam
menyampaikan gemuruh serupa baja diantara igau yang tercela.
kita pun bertanya-tanya tentang siapa yang seharusnya segera berlayar
tapi angin terlalu asin untuk melabuhkan perahu kita.

akhirnya kita sepakat untuk membiarkan mimpi-mimpi pergi
dan diikuti.
tapi selalu ada yang membuat kita kembali.
seperti jemuran yang melambai-lambai yang tak kita biarkan
pasrah saat awan lelah menggenggam hujan yang resah.

selalu kita teringat permainan pantai dimasa kecil
tapi pantai terlalu asin untuk kita sekarang
dan kita memang tak ingin bermain!

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

03 Juni 2007

rencana yang sia vie; tentang ke- taksengajaanku

kata-kataku tersesat ditikungan niat
dalam kereta ke Jatinegara

tak ada jejak yang tertinggal
di gerbong-gerbongnya yang kosong.
rel-rel pun cuma mengantar tanya
pada tanda yang sangat samar

tak ada yang tersisa.
batu-batu mengaduh dalam gumam yang jauh.
menyampaikan sedih yang benar lirih.

apa benar aku salah tujuan.

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

31 Mei 2007

semoga

sengaja kusimpan penat dalam besi
dimana angin tak diam tak pergi
sapa berjingkat-jingkat menuju sebuah tempat
meski kepayahan masuk dalam saku

perlahan kueja dzikir lamatlamat
semoga yang tinggal tak terlambat

30 Mei 2007

hidup

satu
dua
tiga
roda
roda
roda

samarkata; vie

ada kata yang tak mereda
mengharap pada yang tak
kenangan kadang menyakitkan
karena hati tak punya lubang
sedang mata menangkap
cahaya samar yang cuma sebentar

19 Mei 2007

permulaan

dan mulailah sajak-sajak dituliskan

merangkum malam-malam yang sebentar pudar
mengikat gagap siang yang hendak pulang.

ada gelak resah dan sedu renyah
semua istirah di matamu yang lelah

dan mulailah sajak-sajak dituliskan.

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

12 Mei 2007

denting kabar

ada yang pecah dalam rumah
dentingnya sungguh sendiri
mengirimkan kabar yang kabur dalam luka

ada yang…

rindu

langit mengabarkan kehilangan yang lengkap
meninggalkan lubang cacat yang purnama
dari jejak malaikat jahat
dan bau kematian semakin lekat

aku kemudian merindukan sekarat yang hangat

memar samar

kudengar gelisahmu yang samar
kuatir yang tak sempat ketemu akhir
di ujung subuh resahmu kian rusuh
dan aku kehilangan makna
dari rangkaian kata-kata.

23 April 2007

kerja kecewa ; antoni

Aku selalu berpikir tak ada yang sia-sia.
Tapi entah, -ada yang terluka.
Mengajak bicara –meski tanpa menghirup udara
Sambil erat menyimpan tawa

Soal kata-kata,
Aku semakin percaya kata-kata tak dapat dipercaya

Ada yang dijahanami!

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

22 April 2007

bincang pincang

Ada bisik yang berisik di telinga kita
Tentang perca-perca yang dijahit jadi busana
Kita yakin tentu tak terpakai
Pun penjahit yang cuma cari-cari kerja

-
Kita memang lebih suka memandang jarum jam
Daripada menyiram hurup
Jadi bunga kata-kata
-

Yah, semoga mereka cukup puas menjahit kata-kata
Menjadi semacam cerita yang tercela

10 April 2007

setelah malam bergoyang di pucuk dahan

aku cuma ingin menjawab pertanyaan
munkar-nakir dengan segera.
dan memasuki hati yang semoga sangat sunyi
ketika aku terlanjur sepakat denganmu
merebahkan malam pelan-pelan
di altar yang memerah.

hawa pun ikut-ikutan menegang
saat kita berjingkat mendekati kepastian
dan udara yang terhirup meledakkan seluruh nadiku.

kuatlah keinginanku ketika percakapan dimulai
di lingkar tebu
tapi, o, kata-kata berloncatan pada ketika
hingga aku tak hendak berpaling.
100407

26 Maret 2007

cerita rahasia

ah, ternyata kita sama punya cerita
membiarkan udara membaca dan
menyimpannya. tak usah bicara karena
kata-kata tak akan sanggup menyampaikan
rahasia. biar tersimpan di kebun yang ranum
hingga mekar sebagai bunga

14 Maret 2007

arik

dibawah lampu merkuri kita terus berdiskusi
menetapkan apa yang akan menjadi. gelas-piring
sisa makan malam di kucingan menyisakan sendok dingin
dan sedotan bolong. lalu kita berpindah ke
warung lain di jalan lian. kembali membincangkan
mata yang masih terjaga. dan pada detik yang
berdetak di ketika kita beranjak dan
berucap; mari menuai mimpi!

21 Februari 2007

mungkin

mungkin kau bosan juga;
pada tanda yang tak dibaca
tegur yang dibentur
dan peringatan yang dilupakan

mungkin mereka lupa alam itu ada
bukan benda tapi tanda
mungkin mereka tak merasa
mungkin ada juga

yang berjaga dalam do’a;
kuat dalam kuasa

tak mungkin kau berdusta

11 Februari 2007

apa boleh dikata

akankah kita berhenti pada kesepakatan
hidup itu susah, lalu sama pasrah dan
khatam pada ucapan apa boleh dikata?

09 Februari 2007

bincang pincang

Ada bisik yang berisik di telinga kita
Tentang perca-perca yang dijahit jadi busana
Kita yakin tentu tak terpakai
Pun penjahit yang cuma cari-cari kerja

-
Kita memang lebih suka memandang jarum jam
Daripada menyiram hurup
Jadi bunga kata-kata
-

Yah, semoga mereka cukup puas menjahit kata-kata
Menjadi semacam cerita yang tercela

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

06 Februari 2007

ruaya

malam pudar saat kita putuskan
kembali saja. “ ayo, masa depan sedang
dilahirkan !” kemudian kita berlari bersama
angin. dedaun berbisik meninggalkan pertanyaan
yang tak terpetakan.
Ah, peduli setan. baik kita hiraukan.

kita kejar pucuk hujan di ujung sana setelah
orang-orang selesai berpesta dan
menyantap hidangan sambil mengulum
ranting-ranting tajam.

lalu kita sulam masa depan dari ujung gerimis
dan jarum-jarum sialan sambil menyemat
sebuah kalimat;
besok malam belum kiamat

bawahlembah
puisi ini diterbitkan dalam antologi puisi Pendhapa 3, TBJT Februari 2007

04 Februari 2007

cerita rahasia

ah, ternyata kita sama punya cerita
membiarkan udara membaca dan
menyimpannya. tak usah bicara karena
kata-kata tak akan sanggup menyampaikan
rahasia. biar tersimpan di kebun yang ranum
hingga mekar sebagai bunga


puisi ini sudah diterbitkan dalam antologi puisi Pendhapa 3, TBJT Februari 2007

01 Februari 2007

tamu tak diundang

kita masih berjalan meski malam hampir
pulang. harapan yang menyelinap di batas
garis gerimis membuat kita tahan berjaga. kita
harus lepas dari rumah yang basah karena
hujan yang datang kemalaman tak tahu
jalan pulang dan memutuskan menginap
di rumah kita.

puisi ini sudah diterbitkan dalam antologi puisi Pendhapa 3, TBJT Februari 2007

layanglayang

sepi itu seperti layanglayang yang
putus dari benangnya, kan sayang?
bukitlangit

31 Januari 2007

Kereta hujan ; vie

Dalam bising suara stasiun kereta api kepalaku
ramai bisik lembut sapa dan katamu
kita pun berlarian mengejar kenangan
yang tertinggal hingga kata-kata
berceceran dan kita tak sanggup lagi
menyusunnya kembali

lalu kita biarkan mata dan hati
saling bicara. O, matamu menyimpan
rel kereta yang dingin, hendak kemana
mereka mengirim kita?

segera saja laju kereta mengirimkku
pada sepi seperti langit yang menurunkan
dingin dalam hujan. Dan kenangan
malam itu meruap bersama
wangi hujan yang penuh gairah

Ah, hujan membikin kolam
yang besar ternyata. Tapi kita
tak bisa memandangnya bersama
dari atas plaza

*puisi ini diterbitkan dalam antologi puisi Pendhapa 3, TBJT Februari 2007

30 Januari 2007

sejatinya

Telah lama kita ketahui apa yang sebenarnya
mungkin terjadi dan tahu pula cara
untuk mengatasi. Tapi sebagaimana telah
kita mengerti, kita tak sungguh ingin lepas
dari susah, dan terus saja menapaki jalan
kebodohan.

Kita memang lebih puas pada yang ada
meski tak seberapa dari pada yang melimpah tapi
tak kasat mata, lebih baik menganggapnya tak ada

Tak perlu susah menuruti aturan yang suka
ngatur-ngatur, kita buat saja aturan; dilarang
Mengatur!

Laa ilaaha illaa anta subhaanaka
Innii kuntu minaddholimiina

24 Januari 2007

kunci sunyi

sendiri itu seperti kesibukan
mencari kunci yang hilang di
pagihari. klakson motor dan mobil
berteriak memanggil-manggil.
uh, anjing menggonggong keras sekali sementara
kendaraan berlatih paskibra dengan
polisi

konser musik dimana-mana. “Nonton, yuk!”
aduh, aku terjebak di lubang kunci. pengap
dan gelap seperti lorong-lorong perumahan pinggir
kali yang serupa dengan lubang hidung
yang penuh ingus.

aku mencari kunci dimana-mana.
pasar, sekolahan, terminal, konser
musik, rumah sakit, eh, aku dibawa
ambulans ke dalam lubang kunci mungkin
aku dikira kunci padahal aku bukan kunci
cuma sedang mencari kunci untuk lubang kunci
yang tak punya kunci.

aku mengintip lewat lubang kunci,
orang-orang berjingkrak di fort canning park
Sambil berteriak-teriak.

Hatiku berlubang seperti lubang kunci.

17 Januari 2007

ideologi

aku batu saat kau pungut
sebuah sinetron yang dilupakan
pemulung di tempat sampah
lalu bercerita tentang pondasi rumah
yang digondol sebuah sinetron malam hari
“ kita harus jadi besi,” katamu.
tapi orang-orang lebih suka jadi bendera.
kemarin Rani makan ayam di KFC
minum cocacola sambil berkata “whaddup, bro!”
eh, tadi pagi semut-semut hajatan dibawah
kursi; merayakan sarapan pagi dengan spagheti

hidup seperti timba sumur kakek di desa
saat kembali lagi kita menyapa.
mulutmu memakan satu persatu bagian tubuhmu
ih, amit-amit.

tapi hidup suka ikut upacara di senin pagi
kemarin Andi nangis dipukul kakaknya, rumahnya
juga kebanjiran. Tapi di pasar banyak yang dicopet
dan dibunuh meski tidak banjir. Kok kaya naik
roller coaster, ya?

aduh, aku masuk angin!

13 Januari 2007

anak-anak sepi

Sepi itu merengek di pangkuanmu
menyeretmu pada tangis anak pertama
yang sungguh membuatmu bahagia.
butir-butir lelah dan gelisah saat itu
telah berubah bangga yang sempurna
ketika dia memberimu cucu pertama.

Kau insyaf lagi pada sepi ketika dia
memberimu tamparan yang mendamparkanmu
dalam ingatan pada anak kedua. “ ah, aku rindu
kepal kecilmu di dadaku”. Ada harap yang
kau simpan padanya, ketika jimat kecilmu itu
pulang dan bercakap.

Tapi cemas yang senyap selalu merayap saat
sepi membawamu pada ingatan akan anak ketiga.
Dzikir yang semilir kau lapalkan sebagai jembatan
sambil meredam kawatir apa yang
diingat gadis kecilmu di kota sana?

Kadang kau takut juga saat mereka berkumpul
bersama untuk sekedar menikmati
opor ayam dan ketupat. Sepi akan terasa
dua kali setelah lelah dan menatap piring,
panci kosong tanpa isi. Mengingatkanmu
pada lubang kosong di hatimu saat harus
kehilangan anak keempat yang jejak
kecilnya terus membekas di teras.

Lalu kau teguk saja secangkir teh hangat
bersama kekasih paling permata sambil
menunggu senja. Dan kau timang
sepi sebagai buah hati hingga kelak
ia pun pergi.

Buat orang yang membuatku mengada; dalam do’a kita bercengkrama.

dinding jam dinding

Hidup adalah ketika anak-anak kita mulai
bermain sandiwara di kamar mandi bersama
sabun, shampo, odol dan sikat gigi. Ketika
kunci rapat dan berkunjung pada jam dinding

Lalu televisi menjelma sutradara yang tak
punya jam dinding di mukanya. Kita sempat juga
kaget melihat anak-anak kita belajar baris
berbaris pada pak sutradara tanpa membawa
jam dinding. jam tangan juga tidak, “ tanganku
dimakan hati nurani, mama!”.

Kita pun insyaf dan tenggelam dalam dzikir
apa boleh dikata. Atau kita musnahkan saja
dinding-dinding itu agar tak ada jam yang berdetak
yang berteriak seperti ketika pasar kebakaran sedang
petugas pemadam kebakaran tak juga membawa
mobil pemadam kebakaran, malah asyik merokok
sambil sesekali menyeruput kopi lalu berkata bensinnya
tak ada? Oops, bensin kan tak punya jam dinding.

Lebih enak menjadi badut-badut yang berkumpul dipesta
sambil menyanyi menari dan sesekali berpotret bersama
sambil tertawa keras sekali. Badut-badut juga tak punya
jam dinding di kepalanya, dinding-dindingnya penuh lukisan.
Apalagi jam tangan, mau ditaruh dimana?

Mari kita menjadi badut saja meski tak memakai
jam dinding dan berguru pada mereka mengubah derita jadi tawa.
Ah, entah kaget entah bangga kita merasa. Perasaan kita serupa
gado-gado yang dijual di pinggir jalan mungkin serupa juga dengan
jarum jam yang berputar-putar pada jam dinding yang kemarin
kita hancurkan ketika melihat muka badut-badut itu
ternyata anak-anak kita!

03 Januari 2007

ketika eiadukek

di sela gegas waktu yang batu
apa yang mampu kita pacu?
sedang tubuh saja sudah entah;
memadat dalam alat
menyatu pada benda yang bisu
terpisah di segala arah

lalu kita sibuk mencari bara pada desah
resah pasir yang basah

dan kita sama menyekap harap
dalam hati yang hampir mati