26 Juni 2007

kotakita

kota tak memberikan kehilangan yang mempertemukan
cuma kesesakan gelembung-gelembung yang menghabiskan
walaupun selalu saja seperti ada yang terlupakan

orang-orang terombangambing di lautan
tanpa nakhoda
tanpa penyesalan

aku tak bisa berjalan, kemanapun
-tak boleh tak-
mencoba menemukan
dan tidak melupakan

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007

kotakita

kota tak memberikan kehilangan yang mempertemukan
cuma kesesakan gelembung-gelembung yang menghabiskan
walaupun selalu saja seperti ada yang terlupakan

orang-orang terombangambing di lautan
tanpa nakhoda
tanpa penyesalan

aku tak bisa berjalan, kemanapun
-tak boleh tak-
mencoba menemukan
dan tidak melupakan

24 Juni 2007

Di sebuah malam

kita masih berjalan diantara gelombang pasang
menikmati keindahan yang menjadi lusuh
mengamati lintasan kesibukan yang senyap

lalu kesunyian mengantar kita ke pemakaman
melewati jalan dengan dua latar;
kiri siang kanan malam
sambil bergandengan tangan

aroma kamboja lalu menyadarkan segala ingatan
kaupun tersenyum dengan hembusan kemenyan
“siapa yang akan duluan di kuburkan?”

lupa

telah kusimpan segala ingatan di dengkur malam
lalu kupunguti remah-remah awan yang semakin pudar
dan hujan yang pingsan menggelosor ke laut
ke maut

kuputuskan tak kembali
menjadi ikan-ikan dan batu karang
malam sesekali melempar cahaya
namun aku lupa menyebut nama

sunyi

dan ketika kau insyafi riuhnya kesunyian
pada malam yang perlahan berlabuh ditepi keluh
adalah hamparan kehangatan yang lirih merintih

angin runtuh membawa sedikit ingatan
tentang mata yang membawakanmu sungai-sungai
tentang sabuk yang berjalan ke kuburan

mungkin diujung waktu yang murung
kau akhiri percakapan denting asing gelasgelas di perjamuan
dan sungai dan bebatuan, bayangan yang payah dan rumah muntah
menunggu dikuburkan.

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007 dengan judul Seharusnya

Di sebuah malam

kita masih berjalan diantara gelombang pasang
menikmati keindahan yang menjadi lusuh
mengamati lintasan kesibukan yang senyap

lalu kesunyian mengantar kita ke pemakaman
melewati jalan dengan dua latar;
kiri siang kanan malam
sambil bergandengan tangan

aroma kamboja lalu menyadarkan segala ingatan
kaupun tersenyum dengan hembusan kemenyan
“siapa yang akan duluan di kuburkan?”

puisi diatas diterbitkan dalam antologi puisi “ Puisi Absolut”, Gerilya Peradaban 2007 dengan judul Siapa Hendak

22 Juni 2007

katakata katanya

kata-kata adalah bola kristal sang peramal
yang menggelinding jatuh ke pangkuanmu
menguarkan kabar dari bilik paling senyap
menyampaikan rasia yang tak curiga

19 Juni 2007

kabut (ketika bayanganmu menghilang di ujung jalan kamarku)

Aku bersandar pada kabut yang diam-diam takut menyahut
Menyembunyikan genggaman pada bunga-bunga yang tumbuh di ranjang
Sambil khusyuk mendengar dengkur yang mengaduh.

Ada kau yang mengetuk-ketuk jendela kamar, mengajakku bermain hujan.
Tapi di luar tak hujan, hanya kabut yang kian tebal dan aku dalam sempurna menyimpan batuk pada kabut yang masih saja takut untuk menyahut.

Aku pun kesulitan menjaga yang tumbuh di ranjang tetap mekar
Sedang perdu dan ilalang sudah menjalar keluar kamar.
Batangnya ada juga yang melilitku.
Memeras keringat yang mungkin masih tersisa.
Membasahi ranjang dan pintu kamar.

O, sembunyikan aku yang makin larut dalam kabut!

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

05 Juni 2007

pantai asin r; tentang sesal yang tak menyesal

ombak-ombak melemparkan karang pada mimpi kita semalam
menyampaikan gemuruh serupa baja diantara igau yang tercela.
kita pun bertanya-tanya tentang siapa yang seharusnya segera berlayar
tapi angin terlalu asin untuk melabuhkan perahu kita.

akhirnya kita sepakat untuk membiarkan mimpi-mimpi pergi
dan diikuti.
tapi selalu ada yang membuat kita kembali.
seperti jemuran yang melambai-lambai yang tak kita biarkan
pasrah saat awan lelah menggenggam hujan yang resah.

selalu kita teringat permainan pantai dimasa kecil
tapi pantai terlalu asin untuk kita sekarang
dan kita memang tak ingin bermain!

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007

03 Juni 2007

rencana yang sia vie; tentang ke- taksengajaanku

kata-kataku tersesat ditikungan niat
dalam kereta ke Jatinegara

tak ada jejak yang tertinggal
di gerbong-gerbongnya yang kosong.
rel-rel pun cuma mengantar tanya
pada tanda yang sangat samar

tak ada yang tersisa.
batu-batu mengaduh dalam gumam yang jauh.
menyampaikan sedih yang benar lirih.

apa benar aku salah tujuan.

puisi diatas telah diterbitkan dalam antologi puisi Temu-Mahasiswa-Penyair, TBJT Juni 2007