Dalam bising suara stasiun kereta api kepalaku
ramai bisik lembut sapa dan katamu
kita pun berlarian mengejar kenangan
yang tertinggal hingga kata-kata
berceceran dan kita tak sanggup lagi
menyusunnya kembali
lalu kita biarkan mata dan hati
saling bicara. O, matamu menyimpan
rel kereta yang dingin, hendak kemana
mereka mengirim kita?
segera saja laju kereta mengirimkku
pada sepi seperti langit yang menurunkan
dingin dalam hujan. Dan kenangan
malam itu meruap bersama
wangi hujan yang penuh gairah
Ah, hujan membikin kolam
yang besar ternyata. Tapi kita
tak bisa memandangnya bersama
dari atas plaza
*puisi ini diterbitkan dalam antologi puisi Pendhapa 3, TBJT Februari 2007
31 Januari 2007
30 Januari 2007
sejatinya
Telah lama kita ketahui apa yang sebenarnya
mungkin terjadi dan tahu pula cara
untuk mengatasi. Tapi sebagaimana telah
kita mengerti, kita tak sungguh ingin lepas
dari susah, dan terus saja menapaki jalan
kebodohan.
Kita memang lebih puas pada yang ada
meski tak seberapa dari pada yang melimpah tapi
tak kasat mata, lebih baik menganggapnya tak ada
Tak perlu susah menuruti aturan yang suka
ngatur-ngatur, kita buat saja aturan; dilarang
Mengatur!
Laa ilaaha illaa anta subhaanaka
Innii kuntu minaddholimiina
mungkin terjadi dan tahu pula cara
untuk mengatasi. Tapi sebagaimana telah
kita mengerti, kita tak sungguh ingin lepas
dari susah, dan terus saja menapaki jalan
kebodohan.
Kita memang lebih puas pada yang ada
meski tak seberapa dari pada yang melimpah tapi
tak kasat mata, lebih baik menganggapnya tak ada
Tak perlu susah menuruti aturan yang suka
ngatur-ngatur, kita buat saja aturan; dilarang
Mengatur!
Laa ilaaha illaa anta subhaanaka
Innii kuntu minaddholimiina
24 Januari 2007
kunci sunyi
sendiri itu seperti kesibukan
mencari kunci yang hilang di
pagihari. klakson motor dan mobil
berteriak memanggil-manggil.
uh, anjing menggonggong keras sekali sementara
kendaraan berlatih paskibra dengan
polisi
konser musik dimana-mana. “Nonton, yuk!”
aduh, aku terjebak di lubang kunci. pengap
dan gelap seperti lorong-lorong perumahan pinggir
kali yang serupa dengan lubang hidung
yang penuh ingus.
aku mencari kunci dimana-mana.
pasar, sekolahan, terminal, konser
musik, rumah sakit, eh, aku dibawa
ambulans ke dalam lubang kunci mungkin
aku dikira kunci padahal aku bukan kunci
cuma sedang mencari kunci untuk lubang kunci
yang tak punya kunci.
aku mengintip lewat lubang kunci,
orang-orang berjingkrak di fort canning park
Sambil berteriak-teriak.
Hatiku berlubang seperti lubang kunci.
mencari kunci yang hilang di
pagihari. klakson motor dan mobil
berteriak memanggil-manggil.
uh, anjing menggonggong keras sekali sementara
kendaraan berlatih paskibra dengan
polisi
konser musik dimana-mana. “Nonton, yuk!”
aduh, aku terjebak di lubang kunci. pengap
dan gelap seperti lorong-lorong perumahan pinggir
kali yang serupa dengan lubang hidung
yang penuh ingus.
aku mencari kunci dimana-mana.
pasar, sekolahan, terminal, konser
musik, rumah sakit, eh, aku dibawa
ambulans ke dalam lubang kunci mungkin
aku dikira kunci padahal aku bukan kunci
cuma sedang mencari kunci untuk lubang kunci
yang tak punya kunci.
aku mengintip lewat lubang kunci,
orang-orang berjingkrak di fort canning park
Sambil berteriak-teriak.
Hatiku berlubang seperti lubang kunci.
17 Januari 2007
ideologi
aku batu saat kau pungut
sebuah sinetron yang dilupakan
pemulung di tempat sampah
lalu bercerita tentang pondasi rumah
yang digondol sebuah sinetron malam hari
“ kita harus jadi besi,” katamu.
tapi orang-orang lebih suka jadi bendera.
kemarin Rani makan ayam di KFC
minum cocacola sambil berkata “whaddup, bro!”
eh, tadi pagi semut-semut hajatan dibawah
kursi; merayakan sarapan pagi dengan spagheti
hidup seperti timba sumur kakek di desa
saat kembali lagi kita menyapa.
mulutmu memakan satu persatu bagian tubuhmu
ih, amit-amit.
tapi hidup suka ikut upacara di senin pagi
kemarin Andi nangis dipukul kakaknya, rumahnya
juga kebanjiran. Tapi di pasar banyak yang dicopet
dan dibunuh meski tidak banjir. Kok kaya naik
roller coaster, ya?
aduh, aku masuk angin!
sebuah sinetron yang dilupakan
pemulung di tempat sampah
lalu bercerita tentang pondasi rumah
yang digondol sebuah sinetron malam hari
“ kita harus jadi besi,” katamu.
tapi orang-orang lebih suka jadi bendera.
kemarin Rani makan ayam di KFC
minum cocacola sambil berkata “whaddup, bro!”
eh, tadi pagi semut-semut hajatan dibawah
kursi; merayakan sarapan pagi dengan spagheti
hidup seperti timba sumur kakek di desa
saat kembali lagi kita menyapa.
mulutmu memakan satu persatu bagian tubuhmu
ih, amit-amit.
tapi hidup suka ikut upacara di senin pagi
kemarin Andi nangis dipukul kakaknya, rumahnya
juga kebanjiran. Tapi di pasar banyak yang dicopet
dan dibunuh meski tidak banjir. Kok kaya naik
roller coaster, ya?
aduh, aku masuk angin!
13 Januari 2007
anak-anak sepi
Sepi itu merengek di pangkuanmu
menyeretmu pada tangis anak pertama
yang sungguh membuatmu bahagia.
butir-butir lelah dan gelisah saat itu
telah berubah bangga yang sempurna
ketika dia memberimu cucu pertama.
Kau insyaf lagi pada sepi ketika dia
memberimu tamparan yang mendamparkanmu
dalam ingatan pada anak kedua. “ ah, aku rindu
kepal kecilmu di dadaku”. Ada harap yang
kau simpan padanya, ketika jimat kecilmu itu
pulang dan bercakap.
Tapi cemas yang senyap selalu merayap saat
sepi membawamu pada ingatan akan anak ketiga.
Dzikir yang semilir kau lapalkan sebagai jembatan
sambil meredam kawatir apa yang
diingat gadis kecilmu di kota sana?
Kadang kau takut juga saat mereka berkumpul
bersama untuk sekedar menikmati
opor ayam dan ketupat. Sepi akan terasa
dua kali setelah lelah dan menatap piring,
panci kosong tanpa isi. Mengingatkanmu
pada lubang kosong di hatimu saat harus
kehilangan anak keempat yang jejak
kecilnya terus membekas di teras.
Lalu kau teguk saja secangkir teh hangat
bersama kekasih paling permata sambil
menunggu senja. Dan kau timang
sepi sebagai buah hati hingga kelak
ia pun pergi.
Buat orang yang membuatku mengada; dalam do’a kita bercengkrama.
menyeretmu pada tangis anak pertama
yang sungguh membuatmu bahagia.
butir-butir lelah dan gelisah saat itu
telah berubah bangga yang sempurna
ketika dia memberimu cucu pertama.
Kau insyaf lagi pada sepi ketika dia
memberimu tamparan yang mendamparkanmu
dalam ingatan pada anak kedua. “ ah, aku rindu
kepal kecilmu di dadaku”. Ada harap yang
kau simpan padanya, ketika jimat kecilmu itu
pulang dan bercakap.
Tapi cemas yang senyap selalu merayap saat
sepi membawamu pada ingatan akan anak ketiga.
Dzikir yang semilir kau lapalkan sebagai jembatan
sambil meredam kawatir apa yang
diingat gadis kecilmu di kota sana?
Kadang kau takut juga saat mereka berkumpul
bersama untuk sekedar menikmati
opor ayam dan ketupat. Sepi akan terasa
dua kali setelah lelah dan menatap piring,
panci kosong tanpa isi. Mengingatkanmu
pada lubang kosong di hatimu saat harus
kehilangan anak keempat yang jejak
kecilnya terus membekas di teras.
Lalu kau teguk saja secangkir teh hangat
bersama kekasih paling permata sambil
menunggu senja. Dan kau timang
sepi sebagai buah hati hingga kelak
ia pun pergi.
Buat orang yang membuatku mengada; dalam do’a kita bercengkrama.
dinding jam dinding
Hidup adalah ketika anak-anak kita mulai
bermain sandiwara di kamar mandi bersama
sabun, shampo, odol dan sikat gigi. Ketika
kunci rapat dan berkunjung pada jam dinding
Lalu televisi menjelma sutradara yang tak
punya jam dinding di mukanya. Kita sempat juga
kaget melihat anak-anak kita belajar baris
berbaris pada pak sutradara tanpa membawa
jam dinding. jam tangan juga tidak, “ tanganku
dimakan hati nurani, mama!”.
Kita pun insyaf dan tenggelam dalam dzikir
apa boleh dikata. Atau kita musnahkan saja
dinding-dinding itu agar tak ada jam yang berdetak
yang berteriak seperti ketika pasar kebakaran sedang
petugas pemadam kebakaran tak juga membawa
mobil pemadam kebakaran, malah asyik merokok
sambil sesekali menyeruput kopi lalu berkata bensinnya
tak ada? Oops, bensin kan tak punya jam dinding.
Lebih enak menjadi badut-badut yang berkumpul dipesta
sambil menyanyi menari dan sesekali berpotret bersama
sambil tertawa keras sekali. Badut-badut juga tak punya
jam dinding di kepalanya, dinding-dindingnya penuh lukisan.
Apalagi jam tangan, mau ditaruh dimana?
Mari kita menjadi badut saja meski tak memakai
jam dinding dan berguru pada mereka mengubah derita jadi tawa.
Ah, entah kaget entah bangga kita merasa. Perasaan kita serupa
gado-gado yang dijual di pinggir jalan mungkin serupa juga dengan
jarum jam yang berputar-putar pada jam dinding yang kemarin
kita hancurkan ketika melihat muka badut-badut itu
ternyata anak-anak kita!
bermain sandiwara di kamar mandi bersama
sabun, shampo, odol dan sikat gigi. Ketika
kunci rapat dan berkunjung pada jam dinding
Lalu televisi menjelma sutradara yang tak
punya jam dinding di mukanya. Kita sempat juga
kaget melihat anak-anak kita belajar baris
berbaris pada pak sutradara tanpa membawa
jam dinding. jam tangan juga tidak, “ tanganku
dimakan hati nurani, mama!”.
Kita pun insyaf dan tenggelam dalam dzikir
apa boleh dikata. Atau kita musnahkan saja
dinding-dinding itu agar tak ada jam yang berdetak
yang berteriak seperti ketika pasar kebakaran sedang
petugas pemadam kebakaran tak juga membawa
mobil pemadam kebakaran, malah asyik merokok
sambil sesekali menyeruput kopi lalu berkata bensinnya
tak ada? Oops, bensin kan tak punya jam dinding.
Lebih enak menjadi badut-badut yang berkumpul dipesta
sambil menyanyi menari dan sesekali berpotret bersama
sambil tertawa keras sekali. Badut-badut juga tak punya
jam dinding di kepalanya, dinding-dindingnya penuh lukisan.
Apalagi jam tangan, mau ditaruh dimana?
Mari kita menjadi badut saja meski tak memakai
jam dinding dan berguru pada mereka mengubah derita jadi tawa.
Ah, entah kaget entah bangga kita merasa. Perasaan kita serupa
gado-gado yang dijual di pinggir jalan mungkin serupa juga dengan
jarum jam yang berputar-putar pada jam dinding yang kemarin
kita hancurkan ketika melihat muka badut-badut itu
ternyata anak-anak kita!
03 Januari 2007
ketika eiadukek
di sela gegas waktu yang batu
apa yang mampu kita pacu?
sedang tubuh saja sudah entah;
memadat dalam alat
menyatu pada benda yang bisu
terpisah di segala arah
lalu kita sibuk mencari bara pada desah
resah pasir yang basah
dan kita sama menyekap harap
dalam hati yang hampir mati
apa yang mampu kita pacu?
sedang tubuh saja sudah entah;
memadat dalam alat
menyatu pada benda yang bisu
terpisah di segala arah
lalu kita sibuk mencari bara pada desah
resah pasir yang basah
dan kita sama menyekap harap
dalam hati yang hampir mati
Langganan:
Postingan (Atom)