12 September 2008

Perfume; Usaha mengikat cinta


Eksistensi diri. Tampaknya itulah yang menjadi inti dari film Perfume; The Story of A Murderer yang diangkat dari novel karangan Patrick Suskind ini.
Jean Baptiste Grenouille, lahir di sebuah pasar ikan di Paris yang sangat bau pada 17 Juli 1738. Dia adalah anak kelima dari ibunya yang tampaknya tak berminat memiliki seorang anak.
Grenouille adalah anak kelima yang di lahirkan si Ibu. Hari itu, si Ibu tiba-tiba merasakan dorongan dalam perutnya ketika tengah berada di kios ikannya. Menyadari apa yang akan terjadi, dia masuk ke samping meja- tempatnya meletakkan ikan-ikan- yang cukup tertutup oleh selembar kain yang kotor.
Dan memang di situlah Grenouille dilahirkan. Si Ibu terlihat berpengalaman melahirkan tanpa bantuan. Segera setelah keluar dari tubuh Ibunya, lumpur kotor dan bau busuk sebuah pasar ikan menyambut Grenouille kecil.
Berhasil mengelurkan anaknya, dia kembali ke meja ikannya, dan tak sedikitpun merasa telah mengeluarkan seorang bayi. Mungkin si Ibu berpikir apa yang baru saja di keluarkan dari perutnya sama dengan kotoran-kotoran yang berserakan di pasar itu.
Dan begitulah kehidupan anak-anak sebelum Grenouille bermula dan berakhir. Namun saat itu sang bayi menangis yang segera saja menarik perhatian orang-orang di pasar itu. Maka setelah itu Grenouille akan mengetahui bahwa dunia tak cuma pasar ikan yang bau itu.
***

Siang itu tampak sebuah keramaian yang tak biasa di Grasse. Melewati bentangan ungu bunga Lavender, orang-orang menuju alun-alun kota. Saat itu mereka melupakan bunga-bunga Lavender yang harus di petik . “ Menurutmu apa yang akan mereka lakukan?” bisik seseorang.
Suasana sangat sesak. Beberapa orang naik ke atap-atap rumah saking penuhnya tempat itu. “ Lihat, dia datang” ucap seseorang dari atap.
Orang-orang bersorak. Terlihat seseorang memakai pakaian serba hitam. Wajahnya ditutupi topeng berwarna hitam dan membawa tongkat besi berwarna hitam. Ketika dia berjalan, orang-orang memberinya jalan.
Dia naik ke sebuah meja besar yang ada di tengah alun-alun itu. Di sana dia memeriksa sebuah salib besar, lalu dia pukuli salib itu sekuat tenaga dengan tongkatnya. Orang-orang bersorak serentak ketika dia memukul-mukulkan tongkatnya.
Tak lama datang sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Dari dalamnya keluar seorang lelaki muda- yang walaupun mengenakan pakaian indah tak membuatnya terlihat hidup. Pakaian yang dia kenakan berwarna biru. Dari baju, celana hingga sepatu terbuat dari beludru biru.
Orang-orang begitu terpesona ketika pemuda itu lewat di depan mereka. Dia melangkah dengan sangat hati-hati dan waspada. Pemuda itu naik ke atas meja besar bundar mendekati lelaki berpakaian hitam. Tiba-tiba lelaki itu menjatuhkan tongkatnya. “ Orang ini tak bersalah” katanya. Orang-orang menyambut ucapan lelaki hitam itu dengan meneriakkan kata yang sama “ Dia tak bersalah! Dia tak bersalah”
***
Monsieur Baldini tertunduk Lemas. Apa yang di ciumnya adalah benar-benar bau parfum Amor and Psyche. Kurir yang mengantar kulit kambing pesanannya itu mampu membuatnya tanpa teknik sebagaimana sebuah parfum diciptakan. Padahal sebelumnya dia telah mencoba membuatnya tapi tak mampu mengurai wewangian apa saja yang menjadi formulanya.
“ Kalau anda mengijinkan,tuan, aku bisa membuat yang lebih baik” ucap pemuda itu. Demi menjaga harga diri agar tak terlihat bodoh di hadapan si Pemuda, Baldini tak menghiraukan apa yang dibuat si Pemuda.
Setelah si pemuda keluar, Baldini tahu kualitas keharuman parfum yang dibuat pemuda kurus itu. Dia pun memastikan akan mengabulkan permintaan si Pemuda yang ingin bekerja padanya. “ Kau harus mengajariku menjaga keharuman, tuan.” Ucapnya sebelum meninggalkan Baldini.
Esoknya Baldini membeli pemuda itu dari majikannya, seharga 50 Franc. Harga yang cukup mahal untuk seorang budak kurus. Si majikan menyerahkannya dengan senang hati. Sebuah transaksi yang saling menguntungkan. Baldini tahu Pemuda itu memiliki bakat yang berharga untuk membuat usaha parfumnya – yang hampir bangkrut-kembali berjaya.
Perkiraan Baldini bukanlah sebuah omong kosong. Kemampuan pemuda itu meracik parfum mendatangkan banyak pelanggan yang telah lama tak dimiliki Baldini.
***
Malam itu hujan dan terasa sangat dingin. Para bocah gelandangan di rumah “penampungan” Madame Gilliard tidur nyenyak. Kelelapan itu terasa menenangkan meski harus tidur berhimpitan. Mereka tidur dalam sebuah ruangan, rasanya tak tepat kalau itu disebut kamar, yang lebih mirip bedeng pengungsian.
Seorang lelaki datang membawa keranjang bayi. Dia bangunkan seorang bocah yang tengah tertidur. “ Beri tempat!” bentaknya. Bocah itu tercengang. “ Dimana?” katanya. Lelaki itu tak peduli. Dia mendorong bocah itu “ Minggir!” katanya, lalu meletakkan keranjang itu. langkah selanjutnya telah berbalik. Lelaki itu pergi.
“ Dia tak akan tidur di kasurku” ucap bocah itu pada temannya.
“ Ayo kita lempar ke luar” ujar bocah yang lain.
“ Bagaimana kalau dia teriak?”
“ Kita bunuh saja”

Seakan tahu apa yang akan terjadi, bayi itu mulai menangis. Belum sempat menjerit keras, bocah tadi sudah menindihnya dengan bantal. Dua orang temannya membantu menindih. “ Lebih kuat” katanya.
Di luar, Madame Gilliard yang tengah menghitung penghasilannya hari itu menyadari ada yang tak beres di dalam “kamar”. Di ambilnya tongkat, lalu melangkah ke dalam. Dia melotot menahan marah. “ Apa yang kalian lakukan?” Bocah-bocah itu tersentak mundur. Menutupi wajahnya dari pukulan tongkat Madame Gilliard.
Grenouille bukanlah anak yang istimewa dimata Gilliard. Sama seperti anak-anak lainnya, dia adalah sumber penghasilan.
Di tempat ini Grenouille tumbuh dan mengenali bakat yang dimiliknya. Hidungnya mampu mengenali bebauan melebihi seekor anjing paling terlatih sekalipun. Sambil tiduran di tumpukan batang-batang kayu, dia menikmati kemampuan penciumannya. “ kayu. Kayu basah. Batu. Rumput. Rumput basah,” gumamnya sambil menutup mata.
Dia bahkan mampu mengenali bau kodok dalam air yang berada 5 meter darinya.Setelah dewasa, kemampuannya sangat mencengangkan. Dia mampu mengenali bebauan dalam jarak puluhan kilometer.
Pada usia tiga belas, Gilliard menjual Grenouille pada seorang tukang kulit. Berbeda dengan Gilliard, ini adalah awal dari hidup Grenouille. Grenouille yang memang tak banyak bicara, termasuk pekerja yang rajin. Dia bekerja selama 15-16 jam.
Kerja kerasnya ini memberikan perhatian pada Grimalis, majikannya. Setelah beberapa tahun bekerja, dia diajak Grimalis ke kota untuk mengantar kulit pada pemesannya. Di kota, Grenouille menemukan berbagai bebauan yang menarik hidungnya. Dan dari sinilah semua bermula.
Saat Grimalis bicara dengan pembelinya, Grenouille menyelinap pergi. Hidungnya membawa pada sebuah bebauan yang menarik. Toko parfum. Orang-orang di toko itu sedang mencoba parfum baru yang terkenal Amor and Psyche.
Entah berapa lama pemuda kurus bermuka dingin itu berdiri di situ; memanjakan hidungnya. Sudah malam. Tapi sungguh bukan itu yang mengusiknya. Bau. Wangi. Ya. Ada bau yang lebih wangi dari semua parfum di toko di depannya.
Setelah hari itu, Grenouille selalu terbayang dengan kenangannya hari itu. Dan dia menyimpan keinginan untuk kembali ke kota. Beruntung Grimalis mempercayakan pengiriman kulitnya pada Grenouille.
Suatu hari dia diminta mengirim kulit kambing pada Giuseppe Baldini. Seorang pembuat parfum ternama dari Italia. Rumahnya, yang sekaligus toko, terletak di tengah-tengah jembatan yang disebut Pont au Change di kota Paris.
***
Setelah entah berapa lama tinggal dalam sebuah goa, Grenouille kembali sadar akan tujuannya. Dia akan menuju Grasse untuk belajar bagaimana “menjaga keharuman”. Tapi di goa yang dia temukan di tengah perjalanan, niatnya terlupakan. Dia merasa tenang, berhari-hari dia tertidur. Goa itu tak mengeluarkan bebauan.
Suatu hari ketika dia terbangun, dia menyadari ada yang salah dengan dirinya. Tubuhnya tidak berbau. Panik sekali dia menyadari hal itu. Eksistensinya dipertanyakan. Grenouille merasa dirinya tak ada. Tak berarti.
Maka larilah ia menuju Grasse. Disana dia belajar seni enfleurage yaitu sebuah teknik untuk menghasilkan wewangian dari bebungaan dengan menempelkannya pada lemak binatang. Orang-orang Grasse bekerja menghasilkan wewangian dari berbagai bebungaan untuk dijadikan parfum.
Ketika berada dan belajar pada Baldini, Grenouille telah mengerti cara menghasilkan wangi mawar dengan cara menyulingnya. Tapi dia kecewa karena tak semua hal dapat disuling untuk menghasilkan wewangian. Dia bereksperimen menyuling kaca, tembaga, namun tak berhasil mendapatkan baunya.
Grenouille shock berat mengetahui ini. Dia pingsan dan dokter tak mampu mendeteksi penyakitnya. Baldini kalang kabut. Grenouille adalah sumber kekayaannya. Dialah yang membuat toko parfumnya kembali dipenuhi pembeli.
“ Adakah cara lain untuk menghasilkan wewangian, Tuan?” Baldini kaget sekaligus senang mendengar suara Grenouille yang terbaring lemah. “ Ya, di Grasse” ucap Baldini. Seminggu kemudian Grenouille kembali berdiri. Hasratnya telah mengalahkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Grenouille dia berniat segera pergi ke Grasse. Karena dibutuhkan surat petualang, dia meminta pada Baldini. Baldini setuju dengan syarat dia memberinya seratus formula parfum baru. Tak masalah. Grenouille sanggup memberinya seribu formula.
Ambisi Grenouille untuk dapat menghasilkan wewangian bermula dari pertemuannya dengan seorang perempuan ketika pertama kali dia pergi ke pasar bersama Grimalis untuk menjual kulit. Di depan toko parfum, tiba-tiba dia mencium bau yang mengalahkan kewangian semua parfum yang ada di toko itu.
Ternyata sumbernya adalah seorang perempuan. Dia terus membuntuti perempuan itu. Tiba di sebuah tempat sepi, perempuan itu mengeluarkan buah-buahan yang dibawanya. Perempuan itu merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ketika menoleh kebelakang, dia melihat Grenouille sedang mengendus-endus tubuhnya. Perempuan itu menjerit. Tapi tangan Grenouille lebih sigap membekap mulutnya.
Dua orang keluar dari sebuah rumah tak jauh dari mereka. Menyadari akan bahaya, Grenouille terus membekap perempuan itu, menyeretnya dalam kegelapan. Melihat kedua orang yang baru saja dilihatnya berciuman, Grenouille terpana. Dia lupa ada seorang perempuan megap-megap. Ketika sadar, perempuan itu telah menjadi mayat.
Grenouille terkejut. Sungguh, dia tak berniat membunuhnya. Dia bersiap lari. Tapi tak jadi. Wangi tubuh perempuan itu menahan langkahnya. Wangi yang tak dapat dilupakan sepanjang hidupnya. Ya, tubuh perempuan itulah sumbernya. Grenouille merobek pakaian perempuan itu. Diraupnya keringat si perempuan. Dihisap dalam-dalam. Kuat-kuat.
Di Grasse, dia mulai bereksperimen. Pertama dia menyuling seorang perempuan pemetik bunga. Tak ada bau yang dihasilkan. Tindakan selanjutnya adalah mencoba teknik enfleurage.
Grenouille pergi menemui seorang pelacur. Setelah telanjang, perempuan itu mulai diolesi lemak binatang untuk mengikat keringatnya. Sayang, si perempuan menolak karena melihat pisau pengerik lemak Grenouille. Karena susah diatur, Grenouille memukulnya. Dia lalu sadar lebih mudah melakukannya pada seorang mayat.
Usaha Grenouille berhasil. Setelah menjadi sebotol minyak, dia membawanya pada anjing si pelacur. Ajaib, si anjing mendatanginya dan menjilatinya. Anjing itu mengenali bau parfum itu sebagai bau majikannya, si perempuan pelacur.
Maka mulailah Grenouille menyiapkan peralatannya. Dia akan membuat parfum yang hebat dari keringat perempuan. Setelah mendapat tiga belas botol minyak dari tiga belas perempuan, sebagai formula, Grenouille berhasil membuat parfum yang membuat setiap orang yang menciumnya berada dibawah kendalinya.
Hal ini dibuktikan ketika dia akan menerima hukuman atas serangkaian pembunuhan yang dilakukannya. Di alun-alun kota Grasse, seluruh penduduk yang semula mengutuknya menjadi tunduk, mengelu-elukan, bahkan menyembahnya. “ Dia malaikat,” ucap seorang uskup yang telah berada dalam pengaruh parfum Grenouille. Orang-orang pun menyembahnya.
********


Ketika Grenouille pertama kali diajari bagian-bagian parfum, Giuseppe Baldini menyatakan bahwa sebuah parfum terdiri dari empat bagian: kepala; yang meruapkan wangi selama beberapa menit, hati; yang bertahan hingga beberapa jam, dan dasar; yang akan tinggal selama beberapa hari. Satu lagi, the Legend; yang mampu bertahan bertahun-tahun, dan sangat jarang dapat dilakukan.
Seperti parfum, film ini memiliki bagian-bagian itu. Kita pasti terkesan akan kemampuan parfum buatan Grenouille. Beranjak menyadari bahwa (hati) semua itu berasal dari kekuatan indra penciuman yang dimilikinya. Namun tentu saja kemudian kita memperoleh penerangan bahwa ambisinya mengikat keharuman karena tubuh Grenouille tak memiliki bau sedikitpun. Bahkan Grenouille pun mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri.
Sebuah cerita yang menarik. Eksistensi ditentukan dari bau tubuh. Aku bau maka aku ada. Seberapa baukah anda? Heu.
Namun tampaknya apa yang menjadi The Legend dalam cerita ini adalah Cinta.
Saat memperhatikan penduduk Grasse yang mabuk oleh parfumnya dan melakukan senggama masal, Grenouille tahu dia tak bisa melakukannya. Kenangannya pada perempuan yang pertama kali ditemui di pasar kembali terbayang.
Kesadaran bahwa dia tak memiliki cinta semakin besar ketika Antoine, seorang anggota dewan kota, menghampirinya. Hanya dia yang tak terpengaruh oleh parfum itu.
Tentu saja Antoine tak terpengaruh karena wangi tubuh Laura, anaknya, yang menjadi The Legend dalam parfum Grenouille. Ketika berhadapan dan menghunuskan pedang, baru terlihat pengaruh parfum itu. Antoine mengenali bau itu sebagai bau tubuh Laura. Dia pun memeluk Grenouille “ Maafkan aku, anakku..” ucapnya.
Grenouille merasakan kenyamanan yang asing ketika berada dalam pelukan Antoine. Hal ini mudah dimengerti karena semenjak lahir ke dunia, dia tak mendapat kasih sayang sedikitpun. Setelah terlempar keluar dari perut Ibunya, dia hampir dibunuh teman-temannya di rumah Madame Gilliard. Setelah terlepas dari penderitaan Gilliard, dia jatuh pada cengkeraman Grimalis.
Grenouille pun menyadari ambisinya didasari karena kehilangan bau wangi tubuh perempuan yang ditemuinya dipasar tempo hari. Dia belajar membuat parfum karena tak ingin kehilangan wangi yang menenangkannya.
Menyadari semuanya telah terlambat, Grenouille lebih memilih mati. Buat apa hidup tanpa bisa mencintai dan dicintai, bukan?
Saya tak tahu apakah dalam novelnya tokoh pendukung macam Gilliard, Grimalis dan Baldini diceritakan secara detail. Dalam film, Grenouille seolah-olah hidup sendiri. Dan setiap Grenouille pergi, tokoh pembantunya mati.
Saya tak mengerti. Mungkin ada yang berminat memberi saya novelnya?heu.


Data Film:
Judul : Perfume: The Story of a Murderer
Sutradara : Tom Tykwer
Grenouille : Ben Wishaw

Judul Buku
Das Parfum: Die Geschichte eines Morders- (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) menjadi The Book of The Year dari The New York Times pada 1986.


13 Mei 2008

aku ingin mengirim hujan ;ratih

aku ingin mengirimimu hujan
tapi kemarau terlampau galau
membiarkan rerumput tumbuh dipori-pori tubuh.
dan mantramantra orangtua kita terlanjur dirapalkan.
maka biarkanlah kulit kita mengadu kerling
di udara yang lindap
juga jangan hentikan jika nanti kuceritakan
cerita tentang kata-kata
yang gantung diri di kamartidur;
sebab di luar cuaca menanam kebencian yang senyap

aku cuma akan menjaga
ingin mengirimimu hujan
yang meski

hayamwuruk

puisi diatas dimuat dalam antologi
Aku Ingin Mengirim Hujan

12 April 2008

Rihanna

wajah wanita dibuat dari lampu neon
yang membikin nasipadi menjadi basi
kemudian rumah rumah disusun dari indomie

pagi sekali Rihanna mengetuk pintu gubuk seorang penjual jamu
lalu meminjami bikini
indomie dan bikini merangkai batubata di tubuh wanita
membuat dapur yang dimasak dengan api semi combustion

mereka menjadi rajin bermimpi
berharap menjadi bikini dalam keheningan ringtone umbrella di nokia
pagikepagi dijalin dengan indomie
menanti hari dikeriuhan televisi

11 April 2008

Kelamin

sejak kemarin pasar kehilangan toilet
pada sebuah pagi selembut es krim mereka berlari menuju saku gaultier
sambil menyiulkan umbrella menuju iklan-iklan di televisi

dan mulai pagi itu kita kehilangan airmata
mencoba mengiklaskan kelamin yang ditonton sinetron
setelah meminum cocacola zero handphonemu berdering
mengabarkan kelamin yang ingin kencing
“ halo, cari tempat gelap dong”

o, tentu saja kelaminkelamin semakin berkerut
ternyata krim anti-aging tak mampu merubah kelaminmu yang cemberut
tiap hari menggigil sepi dalam dering nokia
ternyata membikin burung burung jadi kakaktua

02 Maret 2008

Perjalanan Menuju Keabadian




Belum lama ini seorang teman saya berkunjung ke Yogyakarta untuk menemui salah seorang penulis cerpen terkemuka. Dia heran ternyata sejumlah orang di sekitar tempat tinggal si penulis yang ditemuinya itu tak mengerti bahwa salah seorang warga di tempat tinggalnya adalah seorang penulis.

Bukankah pekerjaan itu pengusaha, PNS, pedagang, bankir, petani. Penulis, pekerjaan macam apakah itu? Barangkali itulah yang ada dibenak sejumlah orang yang ditemuinya saat dirinya hendak mencari tempat tinggal penulis yang cerpennya pernah memenangkan cerpen terbaik Kompas 1994 itu.

Erskine Caldwell, seorang penulis Amerika, ketika mengatakan menulis adalah pekerjaannya pada tetangga dekatnya, sempat juga diremehkan. “Penulis sambil berdagang, tidak dapat menciptakan kehidupan yang lebih layak dengan melakoninya, kan?” ucap tetangganya itu.

Ya, barangkali menulis memang tidak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi yang menjalaninya, tapi tentu ada hal yang lebih berharga dari sekedar memenuhi kebutuhan finansial sehingga ada yang memutuskan untuk menjadi penulis.

Setelah melalui berbagai rintangan dalam perjalanan karir jurnalistiknya, akhirnya Erskine Caldwell mendapat penghargaan dari The Atlanta Convention and Tourist Bureau atas liputannya yang dinilai memuaskan.

Fred Houser, manajer The Atlanta Convention and Tourist Bureau mengelu-elukannya atas hasil pekerjaannya tersebut. Bahkan Hunter Bell, redaktur The Atlanta Journal tempat Caldwell bekerja, menjamin memenuhi berapa pun gaji yang dia inginkan.

Jika Hunter Bell memberikan kenaikan gaji, Caldwell punya cara lain untuk merayakan keberhasilannya itu. Skinny, panggilan akrab Erskine Caldwell, memutuskan untuk berhenti di The Atlanta Journal dan memutuskan menjadi penulis fiksi profesional. Dia membulatkan tekad untuk secara total bekerja di bidang penulisan kreatif.



Hunter Bell yang tak setuju atas keputusannya itu menggambarkan kehidupan yang sulit bagi mereka yang menggantungkan hidup pada pekerjaan yang tak pasti.

Keputusan Caldwell ini mungkin tidak masuk akal bagi sebagian orang. Bagaimana mungkin, seorang yang sudah mendapatkan karir yang relatif mapan, malah meninggalkan pekerjaannya itu demi untuk menjadi penulis, sebuah pekerjaan yang tak bisa diharapkan memberikan pemenuhan finansial, pekerjaan yang memberikan upah secara pasti tiap bulannya seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tampak lebih jelas dan logis bagi kebanyakan orang.


SETELAH mengakhiri karirnya sebagai kontributor untuk pertandingan bisbol yang ada di daerah tempat tinggalnya di The Augusta Chronicle, Caldwell mengirimkan lamaran pada seluruh surat kabar harian di Georgia. Dia menawarkan menjadi wartawan lokal di daerahnya.

The Atlanta Constitution dan The Macon Telegraph menerima lamarannya. Namun tulisan-tulisan yang dikirimkannya selalu dipotong panjang sehingga hanya menyisakan satu atau dua item.

Berharap mendapatkan yang lebih baik, dia beralih ke The Journal, The News, dan The Herald. Namun perubahan ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pada 1925, ketika masih kuliah di Universitas Virginia, dia sudah tak tahan untuk melakukan apa ang ingin dia lakukan dalam hidup; menulis. Maka Caldwell memutuskan pergi dan melamar pekerjaan di The Atlanta Journal.

Di The Atlanta Journal, Caldwell diterima sebagai wartawan amatir dengan masa percobaan. Sebelum berhasil mendapat penghargaan atas liputannya itu, Caldwell acap diremehkan dan hanya mendapat pos-pos liputan sekunder seperti berita kematian.
Caldwell tentu saja telah memikirkan dengan matang untuk menjadi penulis profesional. Sebelum bekerja di The Atlanta Journal, dia mengatakan tidak berminat bekerja di bidang jurnalistik. “Namun kerja jurnalistik adalah menulis. Itulah yang ingin aku pelajari,” katanya.

Jurnalisme, menurut Caldwell, adalah tempat yang baik untuk membantu membiasakan menulis setiap hari. Menunggu inspirasi adalah pernyataan yang jarang ditemukan pada wartawan terlatih.

Keputusan Caldwell tentu saja tidak serta merta memberikan penghasilan melebihi apa yang ditawarkan Hunter Bell. Sebaliknya, Caldwell harus hidup dengan mengatur pengeluaran secara ketat.

Memulai sebuah awalan yang baru, Caldwell memutuskan untuk pergi ke negara Maine dan tinggal disana. Maine adalah sebuah negara tenang dan permai dengan bukit dan pepohonan hijau yang menakjubkan, juga sungai-sungai tenang dipagari padang rumput yang lebat di musim panas.

Sedang di musim dingin, yang menghabiskan waktu selama sembilan bulan, udara sangat tak nyaman dengan suhu dibawah nol derajat.

Keadaan ini membuat Caldwell bekerja keras selama musim panas untuk memenuhi kebutuhan di musim dingin.

Siang hari, dia menanam kentang untuk persediaan makanan. Berlanjut dengan menebang pohon untuk persediaan kayu bakar.

Menulis cerpen adalah pekerjaannya di malam hari. Kerap kali Caldwell menghabiskan 10 sampai 12 jam untuk menulis. Bahkan tak jarang sepanjang malam dia habiskan untuk menulis cerita di sebuah ruangan tanpa penghangat dengan suhu dibawah nol derajat celcius yang dinginnya tetap terasa meski memakai berlapis-lapis jaket dan mantel.
Kehabisan kentang dan kayu bakar, menguatkan Caldwell untuk memenuhi keinginannya pergi ke tempat lain. Baginya, menulis bukan sebuah pekerjaan yang mengharuskan tinggal menetap.

Maka pergilah dia ke Charlottesville, lalu ke Augusta, lalu ke Edgefield, Carolina selatan, dan dilanjutkan ke Baltimore. Kebiasaannya berpindah-pindah terus dia lakukan hingga akir hidupnya. Dari Virginia, Georgia, Carolinas, Chilhuahua, Durango, Mexico, Boston atau Newyork.

Ditempat-tempat itu dia memutuskan untuk menulis. Dan hari-harinya dihabiskan untuk menulis selama enam belas hingga delapan belas jam sehari.
Di tempat-tempat itu Caldwell harus dengan keras mengatur pengeluarannya. Caldwell mencari penginapan yang murah.

Ketika kembali ke Maine Caldwell mengumpulkan kayu bakar dan menanam kentang sepanjang siang dan sepanjang malam menulis cerita hingga menyisakan beberapa jam untuk tidur pukul tiga pagi sebelum fajar.

“ Waktu serasa berjalan begitu cepat dan masih banyak yang harus dilakukan pada malam-malam itu, sehingga ingin rasanya aku menghentikan jam atau memutar balik jarum jam ketika sedang berada di depan mesin ketik” terangnya.

Setelah kurang lebih tiga tahun sejak pertama kali menulis fiksi ketika masih kuliah di Universitas Virginia, akhirnya Caldwell mulai sering mendapat catatan-catatan pendek disamping surat penolakan dari para editor.

“meski tidak satu pun majalah menerima ceritaku, setidaknya mulai sekarang seorang editor akan menolak karyaku disertai dengan komentar.” Pikirnya saat itu.
Komentar-komentar para editor ini cukup menyenangkan bagi Caldwel. Memberikan sesuatu untuk dinanti di kotak surat, meski isinya membuat heran karena begitu banyak alasan dapat ditemukan untuk menolak sebuah cerita.

Selain mendapat nasihat agar menulis semirip mungkin dengan cerita yang telah dimuat di majalah-majalah, Caldwell pun mendapat nasihat agar menulis subjek lain seperti dekorasi rumah, ubin,lantai untuk mendapat masa depan yang baik.

Bahkan dia menerima nasihat panjang dari seorang editor yang menyarankan berhenti berusaha menulis cerpen karena menurutnya, Caldwell tidak akan pernah bisa berhasil dan sakit hati akibat kegagalan yang terus ditahan akan membuat kegagalan puncak yang sulit untuk dia tanggung.


CADWELL sudah memperhitungkan keputusannya meninggalkan pekerjaan demi menjadi penulis fiksi profesional. Godaan akan selalu menghantui siapa saja yang mengambil keputusan seperti dirinya, yang hendak menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sementara hasil menulis sebagai mata pencaharian tak kunjung terpenuhi.

Seorang yang ingin menjadi penulis haruslah menyiapkan mental yang kuat agar mampu menjalani masa-masa yang paling sulit, masa di mana tiada jaminan finansial yang memadai. Jika tidak, ia akan tergoda untuk mengalihkan perhatiannya kepada pekerjaan yang bagi kebanyakan orang lebih rasional, pekerjaan yang lebih bisa menghasilkan uang. Dan keinginan menjadi penulis fiksi profesional menjadi angan-angan yang lebih layak untuk ditertawakan.

Memang Cadwell pada akhirnya dapat memetik hasil jerih-payahnya. Perlahan-lahan cerpennya mulai dimuat di koran kecil, hingga menembus Scribner’s Magazine, sebuah keinginan yang sudah dinanti-nantinya menaklukan media yang memiliki distribusi luas.

Kumpulan cerpennya yang diberi judul American Earth dibukukan. Tak lama kemudian menyusul novel perdananya Tobaco Road, yang terinspirasi dari sebuah kehidupan di perkampungan miskin di dekat tempat tinggalnya, sebuah jalan yang dibuat dengan menggelindingkan tong yang diisi tembakau yang diawetkan. Untuk pertama kalinya, ia menerima bond royalty dari penerbitan buku.

Hingga novel God’s Littele Acre yang menurutnya paling memuaskan, You Have Seen Their Faces, dan novelnya Tobaco Road yang telah dipentaskan lebih dari tujuh tahun, hasil royalty yang diterimanya tidak bisa dibilang telah cukup membuatnya menjadi seorang yang terbebas dari masalah keuangan.

Kondisi finansialnya baru dikatakan lebih membaik setelah dia menjadi penulis skenario untuk film di MGM, yang menggajinya $3000 per minggu, penghasilan tertinggi yang pernah di terima sepanjang hidupnya.

Berapapun jumlah penghasilan yang didapatkannya dari menulis fiksi, setidaknya dia sudah mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karyanya di surat kabar, kumpulan cerpen dan novel-novelnya sudah dibukukan. Selama penghasilannya dari menulis fiksi belum bisa untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, maka dengan sadar ia pun akan melakukan pekerjaan lain demi mewujudkan ambisinya. Kini kerjanya sudah membuahkan hasil. Namanya disandingkan dengan John Steinbeck , William Faulkner, dan pengarang terbaik Amerika yang lainnya.

Semenjak menetapkan ingin menjadi penulis fiksi professional, Caldwell menjadikan pekerjaan apapun yang dia lakukan diluar menulis adalah pekerjaan sementara, dan itu dilakukan cuma untuk bertahan hidup.

Intensitas keadaan pikiran untuk menulis adalah ukuran kesuksesan atau kegagalan bagi Caldwell. Menurutnya, seorang penulis harus meluangkan banyak waktu untuk pekerjaannya dan menjaganya dengan antusias, sebab jika tidak dia akan mendapati sebagian hari-harinya telah dihabiskan untuk tindakan-tindakan menyenangkan namun sia-sia.

Dalam bukunya sendiri yang berjudul Call It Experience, The Years of Learning How to Write Caldwell memaparkan perjalanannya sehingga berhasil menjadi penulis yang sukses.

Tak beda dengan pekerjaan seperti Dokter, Pengacara atau yang lain, Caldwell meyakini menulis memerlukan masa-masa belajar sebelum mendapat keberhasilan. Caldwell berpendapat para pekerja yang lain pun akan belajar dari pengalaman. “Kenapa para penulis tidak?” katanya.

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prisma Media, Yogyakarta dengan judul Perjalanan Sang Penulis, Mengubah Pengalaman menjadi Energi Kreatif Dalam Menulis.

Memang dibutuhkan keberanian untuk memutuskan mengambil jalan hidup sebagai penulis. Perlu intensitas dan keyakinan kuat sebelum mencapai keberhasilan. Tapi keberhasilan itu niscaya datang bagi orang-orang yang berhasil menetapkan keyakinannya.
Seperti Erskine Caldwell, atau Nawal El Saadawi yang menerima ultimatum dari suaminya atas cerpen yang dibuatnya. “ memilih aku atau tulisanmu?” tanya suami Nawal. “ Baiklah”, ucap Nawal. “ Aku memilih tulisanku”

Anda boleh saja menganggap apa yang dilakukan oleh Cadwell, atau penulis lainnya yang menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sebagai sesuatu yang mengada-ada. Namun bagi anda yang saat ini sudah memutuskan diri menjadi penulis profesional, baik itu fiksi maupun non fiksi, sedikit banyak pasti sudah melewati masa-masa itu. Hanya saja intensitasnya mungkin berbeda.

Anda sekarang barangkali boleh berbesar hati karena sudah banyak penulis yang berhasil meraih sukses secara finansial. Pengarang JK Rowling adalah salah satu buktinya. Buku serial Harry Potter mampu menyihir jutaan pembaca di seluruh dunia. Hanya beberapa minggu sejak dirilis, bukunya sudah ludes. Bayangkan, berapa royalty yang dia terima?

Di dalam negeri, tak usah jauh-jauh, pengarang asal Semarang Habiburahman juga berhasil meraih sukses setelah menulis novel “Ayat-Ayat Cinta” yang menurut beberapa sumber sudah dicetak hingga 300 ribu eksemplar lebih. Kenyataan ini lambat laun akan mampu menggeser persepsi orang yang masih menganggap pekerjaan sebagai penulis tidak bisa memberikan jaminan finansial.

Mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, pengarang novel Tetralogi Bumimanusia yang masyhur itu, menulis adalah kerja untuk keabadiaan. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah... Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup).